Ketimpangan antara kelompok kaya dan miskin di Indonesia masih terasa meski angka kemiskinan mengalami penurunan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 mencapai 23,85 juta orang, meskipun turun 0,2% dibandingkan dengan September 2024. Namun, rasio Gini yang mengukur ketimpangan ekonomi mencapai 0,375, menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan.
Ekonom meyakini bahwa ketimpangan ini disebabkan oleh kelompok yang terus mendapat kemudahan akses sementara kelompok masyarakat kecil kesulitan menemukan akses yang sama. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto memperkenalkan istilah baru, yakni Serakahnomics, untuk menjelaskan fenomena ini. Serakahnomics merujuk pada praktik keserakahan dalam ekonomi yang melibatkan eksploitasi sumber daya dan korupsi oleh pejabat negara.
Para pelaku Serakahnomics kerap menggunakan kekuasaan dan korupsi untuk memperoleh keuntungan besar, bahkan dengan cara yang ilegal. Pelaporan terkait ketimpangan kekayaan menunjukkan bahwa 50 orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 50 juta orang biasa. Namun, kekayaan tersebut tidak dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, meninggalkan ketimpangan yang lebar.
Ekonom Center of Reform on Economics menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung tidak dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelompok kaya dan miskin. Bahkan, serakahnomics juga terlihat melalui penguasaan lahan yang tidak merata dan dominasi sebagian kelompok dalam sektor usaha strategis. Hal ini membuat upaya untuk menciptakan pemerataan dan keadilan ekonomi menjadi semakin sulit.