Vietnam telah memulai reformasi birokrasi dengan langkah-langkah radikal, seperti mengurangi jumlah pegawai negeri, menghapus beberapa kementerian, dan memangkas anggaran pemerintah. Keputusan ini diambil setelah disetujui oleh Majelis Nasional pada 18 Februari 2025, sehingga mencatat restrukturisasi terbesar dalam beberapa dekade. Langkah ini disebut “revolusi” oleh para pejabat senior Vietnam, mirip dengan kebijakan pemangkasan pengeluaran pemerintah yang pernah diterapkan Presiden AS, Donald Trump.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran, terutama di kalangan pegawai negeri yang merasa terancam dengan keputusan ini. Sebagai bagian dari kebijakan efisiensi, sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah dikurangi jumlahnya dari 30 menjadi 22. Beberapa kementerian utama, seperti Kementerian Transportasi, Perencanaan dan Investasi, Komunikasi, dan Tenaga Kerja, dihapus dalam restrukturisasi ini.
Selain lembaga pemerintah, sektor media, pegawai negeri sipil, kepolisian, dan militer juga akan mengalami pemangkasan. Diperkirakan sekitar 20% dari dua juta pegawai negeri yang ada saat ini akan kehilangan pekerjaan dalam lima tahun ke depan. Dalam fase awal, sekitar 100.000 pegawai akan terkena PHK atau pensiun dini, namun rincian lebih lanjut mengenai target pemangkasan yang lebih luas belum dijelaskan pemerintah.
Pemerintah Vietnam juga menyetujui penambahan dua wakil perdana menteri dalam restrukturisasi ini. Keputusan ini diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, To Lam, yang menekankan pentingnya reformasi untuk membersihkan birokrasi dari pejabat yang tidak kompeten. Namun, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pegawai negeri yang terkena dampak. Beberapa di antara mereka mengaku tidak mendapatkan pemberitahuan yang layak sebelum diberhentikan, menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dalam proses pemilihan siapa yang tetap bertahan di pemerintahan.
Dampak pemangkasan birokrasi ini juga dirasakan pada sektor bisnis dan ekonomi. Meskipun Vietnam mencatat pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, pemotongan birokrasi yang drastis berisiko memperlambat aktivitas bisnis dalam jangka pendek. Para ahli politik mencatat adanya dilema dalam menyeimbangkan efisiensi birokrasi dengan stabilitas ekonomi, terutama karena negara ini sangat bergantung pada investasi asing. Meski di satu sisi pemerintah memperkirakan akan menghemat dana dalam jangka panjang, namun mereka juga harus mengeluarkan biaya untuk pensiun dan pesangon pegawai yang terdampak kebijakan ini.