Meningkatnya Ancaman Kegagalan Menjadi Negara Maju, Apa Tindakan yang Harus Dilakukan oleh RI?

by -116 Views
Meningkatnya Ancaman Kegagalan Menjadi Negara Maju, Apa Tindakan yang Harus Dilakukan oleh RI?

Sejumlah ekonom dan lembaga think tank seperti LPEM FEB UI dan INDEF memperkirakan besarnya potensi Indonesia gagal menjadi negara maju pada 2045.

Mereka pun mengingatkan kepada pemerintah pentingnya memperbaiki fokus arah pembangunan sejak dini sebelum nantinya semakin sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Peringatan ini pun telah direspons oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Ia mengakui, potensi besar gagalnya Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 bisa saja terjadi, jika memanfaatkan perhitungan sederhana formula atau aturan 72 dan pertumbuhan ekonomi yang saat ini stagnan di level 5%.

“Ya memang kalau dihitung secara linier, seperti itu. Ini kritik orang saya jawab bahwa kalau kita kerja linier begitu, apa boleh buat,” kata Suharso saat ditemui di kantornya, Jakarta, dikutip Selasa (21/11/2023).

Namun, ia menekankan untuk mengubah nasib bangsa, sudah kembali dirancang ulang pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Dalam dokumen itu, telah ditetapkan sejumlah agenda untuk memperkuat arah pembangunan yang mampu melepaskan Indonesia dari middle income trap dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan sejak 2005.

Di antaranya, dengan mengimplementasikan penahapan pembangunan menggunakan 17 arah pembangunan yang mengedepankan transformasi di berbagai lini, sehingga pertumbuhan ekonomi RI, Bappenas pastikan mampu mencapai 5,6%-6,1% mulai 2025-2029, 6,9%-7,8% pada 2030-2034, dan 6,4%-7,6% pada 2034-2039, dan 5,4%-6,7% pada 2040-2045.

Dengan laju pertumbuhan itu, pendapatan per kapita masyarakat atau gross national income (GNI) per kapita akan ikut melonjak, dari US$ 710 pada 2001, menjadi US$ 4.783,9 pada 2022, naik sedikit menjadi US$ 5.500 pada 2025, dan meroket menjadi US$ 23.000-30.300 pada 2045, sehingga Indonesia menyandang gelar sebagai negara berpendapatan tinggi atau negara maju pada 100 tahun kemerdekaan.

Adapun 17 arah pembangunan dalam RPJPN 2025-2045 itu pertama transformasi sosial dengan program tiga program, yakni kesehatan untuk semua, pendidikan berkualitas yang merata, serta perlindungan sosial yang adaptif. Lalu, transformasi tata kelola dengan satu program: regulasi dan tata kelola yang berintegritas dan adaptif.

Adapula transformasi ekonomi dengan lima program: iptek, inovasi, dan produktivitas ekonomi; penerapan ekonomi hijau; transformasi digital; integrasi ekonomi domestik dan global; serta perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

Selanjutnya dengan supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan Indonesia dengan tiga program: hukum berkeadilan, keamanan nasional tangguh, dan demokrasi substansial; stabilitas ekonomi makro; ketangguhan diplomasi dan pertahanan berdaya gentar kawasan.

Terakhir ada ketahanan sosial budaya dan ekonomi dengan lima program: beragama maslahat dan berkebudayaan maju; keluarga berkualitas; kesetaraan gender; dan masyarakat inklusif; lingkungan hidup berkualitas; berketahanan energi, air, dan kemandirian pangan; serta resiliensi terhadap bencana dan perubahan iklim.

“Tugas Bappenas susun perencanaan dengan baik. Kita dasarnya growth diagnostic yang baik, berdasarkan yang kita miliki hari dan apa yang harus dilakukan,” ucap Suharso.

Di luar 17 program itu, Suharso menekankan, strategi utama pemerintah untuk membalikkan kondisi Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045 ialah dengan fokus menjadikan Indonesia sebagai negara industri pembuat produk atau barang berteknologi dan berkompleksitas tinggi. Tak lagi hanya barang-barang sederhana yang dibuat dari minim produk pendukungnya.

Dengan kemampuan pengusaha atau industri di Indonesia yang hingga saat ini masih menjadi penghasil produk ekspor sederhana, seperti makanan dan minum, produk dari tekstil, hingga produk hilirisasi sumber daya alam yang masih setengah jadi, Suharso menekankan, Indonesia terbukti telah mengalami deindustrialisasi dini.

Deindustrialisasi dini, yang juga sempat dikemukakan oleh ekonom senior INDEF Faisal Basri ini tercermin dari tingkat sumbangan sektor industri pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau ekonomi total terus menurun. Pada kuartal III-2023 angkanya hanya 18,75%, sedangkan pada kuartal III-2013 sebesar 23,11% dan pada 2005 bahkan kontribusinya 27,4%.

“Kontribusi dari industri manufaktur kita itu sudah di bawah 20%, sekarang 18%. Maka, kalau kita kasih naik aja ke 25% automatically pertumbuhannya tidak hanya secara kuantitas naik, kualitasnya juga,” ucap Suharso.

Demi mendorong kontribusi manufaktur terhadap PDB kembali ke level 20%, Suharso mengakui, pemerintah perlu kembali fokus menciptakan sumber daya manusia yang pengetahuannya berbasiskan sains dan berwawasan teknologi. Riset, pendidikan dan pengembangan atau R&D tidak lagi hanya bisa mengandalkan 20% anggaran mandatori dari APBN.

“Ya bagaimana? kita sudah turunkan 20% mandatori dari APBN sampai ke kabupaten atau kota, efektifnya baru 2005 terjadi itu, dari 2005 sampai 2022 hanya naik 1,9 tahun lama sekolah, dari 7,2 tahun ke 9,1 tahun, apa yang mau kita harapkan?,” ucap Suharso.

Maka, menurutnya negara harus lebih hadir menggalakkan R&D dan semakin mendorong sektor swasta menggelontorkan investasi besar untuk kebutuhan itu. Dengan modal sosial dan ekonomi masyarakat yang telah kuat, selanjutnya akan bisa memperkokoh sisi pasokan dari perekonomian Indonesia, tak lagi hanya dari sisi konsumsi atau demand side saja.

“Jadi rakyat kita harus cerdas, harus pintar, harus banyak menjadi entrepreneur yang menjadi maker, bukan trader, dan maker harus masuk ke jaring laba-laba produk industri yang tingkat kompleksitasnya tinggi,” kata Suharso.

Perbaikan dari sisi pasokan ini ialah dengan menciptakan pengusaha nasional dari anak bangsa pemilik industri yang berorientasi pembuat produk-produk berteknologi tinggi dan kompleks, seperti ponsel atau gawai, hingga otomotif yang dikembangkan Korea Selatan maupun Jepang saat terlepas dari middle income trap.

Namun, industrialisasi seperti ini ditegaskan Suharso bukan dari industri yang menjadi bagian dari program hilirisasi seperti saat ini, terutama nikel. Sebab, hilirisasi industri pengolah ore nikel menurut Suharso hingga kini baru pada sampai tahapan penghasil feronikel, yang itu adalah barang setengah jadi. Namun, sudah diekspor secara besar-besaran.

Nilai ekspor ferronikel pada 2022 telah mencapai US$ 13,6 miliar, atau melonjak 92% dibandingkan nilai ekspor pada 2021 yang sebesar US$ 7,08 miliar, berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian. Meskipun untuk komoditas nikel ore atau komoditas mineral mentahannya sudah dilarang ekspornya sejak 1 Januari 2020.

“Feronikel kan belum jadi apa-apa. Tapi kalau dari situ kita bisa bikin material pesawat terbang dan sebagainya yang diolah bersama Kevlar dan seterusnya, kan beda, nilai value added nya juga tinggi, ini yang saya maksud produk kompleks,” tegas Suharso.

“Terbukti di tempat-tempat nikel yang hebat sekali tingkat pemerataannya rendah, kemudian tingkat lapangan kerja yang terbentuk juga rendah, kompleksitasnya juga rendah, jadi kita nggak mau yang begitu” ungkapnya.

Oleh sebab itu, dalam RPJPN 2025-2045, Suharso menekankan, prioritas industri yang disebut berteknologi menengah-tinggi terdiri dari sembilan sektor, yaitu perkapalan, kedirgantaraan, otomotif dan alat angkut, pertahanan, alat kesehatan, produk kimia dan farmasi, mesin dan perlengkapannya, elektronik, serta digital.

“Kita sekarang punya PTDI, kita punya PT PAL, terus kita perlu industri pertahanan yang kuat, dan di belakang industri pertahanan itu, kalau kita bisa hebat di sana, itu kita bisa masuk di industri pertanian, masuk di industri energi, dan kita bahkan bisa masuk di industri pangan,” tutur Suharso.

Oleh sebab itu, melalui RPJPN 2025-2045, Bappenas kata Suharso tidak mendesain rencana kedua atau backup plane jika nantinya Indonesia betul-betul gagal menjadi negara maju pada 2045 sebagaimana usulan LPEM FEB UI dalam white paper bertajuk Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029. Sebab, desain RPJPN menurut Suharso bisa direalisasikan atau dieksekusi oleh pihak-pihak terkait.

“Kita udah scramble itu, kita sudah bikin arsitekturnya, orkestrasinya, sudah harus kita hidupkan dan seterusnya, tapi kan kita bukan eksekutornya,” ungkapnya.

(haa/haa)