Surat dari Ombudsman Dikirim ke KLH, Petani Sawit Berbahagia

by -120 Views
Surat dari Ombudsman Dikirim ke KLH, Petani Sawit Berbahagia

Ombudsman RI telah mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan saran untuk menunda batas penyerahan kelengkapan syarat perizinan bagi pengusaha sawit yang terindikasi menggunakan lahan ilegal di kawasan hutan. Batas penyerahan tersebut seharusnya berakhir pada 2 November 2023. Petani Sawit Indonesia mengapresiasi langkah Ombudsman RI tersebut.

Kebijakan ini memiliki potensi maladministrasi karena masih ada masalah terkait status kawasan hutan. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyarankan agar Menteri KLHK menunda batas akhir tersebut dengan pertimbangan tertentu.

Pertimbangan kedua adalah permintaan persyaratan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan setelah penetapan kawasan hutan selesai dilakukan. Jika badan usaha/masyarakat dinyatakan melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, maka dapat melengkapi persyaratan perizinan di bidang kehutanan.

Diskresi dapat dilakukan dengan alasan yang didasarkan pada fakta dan kondisi faktual, tidak memihak dan rasional serta berdasarkan Asas-Asas Umum Pemerintah yang Baik, tambah Yeka.

Yeka juga menyebutkan bahwa petani sawit swadaya yang hanya memiliki lahan kurang dari 10 hektare, merasa kesulitan dalam memenuhi persyaratan administratif pengurusan legalitas usaha berdasarkan ketentuan UU Cipta Kerja. Hal ini perlu menjadi perhatian serius oleh pemerintah.

Proses penentuan tenggat waktu 2 November 2023 diambil dari tanggal diundang-undangkannya UU Cipta Kerja pada tahun 2020 mengacu UU Nomor 11 Tahun 2020. Dengan adanya Putusan MK tentang penundaan dan diubah dengan UUCK (2) yaitu UU Nomor 6 Tahun 2023, maka selayaknya tanggal batas akhir dimulai dari pemberlakuan UUCK Nomor 6 tahun 2023 tersebut.

Ombudsman RI menekankan bahwa penatagunaan kawasan hutan harus menghormati hak masyarakat dan kepentingan nasional. Kementerian LHK perlu memperhatikan tata cara yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan tetap menghormati hak masyarakat. Penatagunaan kawasan hutan juga perlu mempertimbangkan produk administratif yang berkaitan dengan hak atas tanah yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Pemerintah Daerah.

Ombudsman RI berpendapat bahwa usaha sawit perlu mendapat dukungan baik dari dalam maupun luar negeri. Usaha sawit mengalami tekanan akibat dampak Pandemi Covid-19, kebijakan subsidi, dan kebijakan ekspor. Oleh karena itu, hak atas tanah yang menjadi dasar usaha perkebunan sawit perlu ditata untuk memberikan kepastian hukum dan menjamin keberlanjutan usaha.

Jika terjadi pengenaan sanksi denda, Ombudsman RI menyarankan agar dilakukan dengan mekanisme yang meringankan untuk melindungi pelaku usaha sawit dari kebangkrutan. Hal ini dapat memberikan dampak ekonomi yang lebih luas bagi perekonomian nasional.

Saran dan pendapat Ombudsman RI ini sesuai dengan tugas Ombudsman yang melibatkan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara dan lembaga pemerintahan lainnya serta upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman RI juga akan membuat Policy Report untuk mendorong kepastian hak atas tanah sebagai dasar dalam usaha perkebunan sawit yang dapat mempengaruhi tata niaga sawit di Indonesia.

Petani Sawit Indonesia mengapresiasi surat yang dikirim oleh Ombudsman RI ke KLHK. Mereka berterima kasih karena Ombudsman RI telah mengambil alih permasalahan yang mereka hadapi. Petani sawit berharap KLHK dapat mencari solusi tanpa menimbulkan masalah yang lebih rumit. Mereka berharap Presiden Joko Widodo dapat ikut mengatasi masalah yang sudah berkepanjangan ini.