Leadership Qualities Demonstrated by My Seniors (Part I)

by -44 Views
Leadership Qualities Demonstrated by My Seniors (Part I)

Ada pepatah yang mengatakan seorang guru sejati sebaiknya bangga melihat muridnya melampaui dirinya. Seorang guru sejati akan memastikan bahwa murid-muridnya dan orang-orang di bawah komandonya lebih sukses daripada dirinya. Seorang guru sejati tidak akan ragu untuk membimbing murid-muridnya agar mencapai potensi penuh dan mencapai pangkat tertinggi demi kepentingan negara dan bangsa.

Jenderal TNI (Purn.) Kemal Idris

Saya berusia 17 tahun ketika saya kembali ke Indonesia dari Eropa. Saat itu, Pak Kemal Idris sudah menjadi sosok TNI yang sangat terkenal. Pada saat itu, beliau dikenal sebagai salah satu tokoh kunci rezim Orde Baru pada awal pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Kemal Idris juga merupakan teman dari paman saya, Subianto, yang meninggal dalam Pertempuran Lengkong. Ketika saya bertemu dengannya, Pak Kemal Idris berkata kepada saya, ‘Saya adalah teman terbaik dari pamanmu. Pamanmu adalah seorang pria yang sangat berani. Jika pamanmu masih hidup hari ini, saya yakin dia akan menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Kau sebaiknya mengikuti jejak pamanmu, Subianto. Dia adalah pahlawan.’

Saya masih ingat kata-katanya. Setelah saya mempelajari lebih lanjut tentang sejarah hidup Pak Kemal Idris, saya memahami bahwa beliau adalah sosok yang sangat patriotik, berani, jujur, dan terbuka. Batalyon Pak Kemal Idris adalah batalyon TNI pertama yang memasuki ibu kota setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Ketika itu, Pak Kemal Idris adalah seorang Mayor yang sangat terkenal.

Pak Kemal Idris adalah seorang pribadi yang berani, sangat pro-rakyat dan nasionalis teguh. Beliau sangat membenci korupsi sehingga bahkan dengan berani mengkritik atasannya, sehingga para senior sering kali menganggapnya sebagai “anak nakal”. Saya bahkan pernah mendengar Pak Harto sekali menyebut nama Pak Kemal Idris sambil tersenyum sambil tertawa, ‘Ya, Kemal, ya… Kemal nakal.’ Namun, para senior selalu memaafkannya dan selalu melindunginya karena beliau adalah seorang yang sangat berani dan mampu memimpin pasukannya melawan Belanda. Kemal Idris melawan pemberontak selama tahun 1950-an dan 1965. Setelah pemberontakan G30S/PKI 1965, beliau menjadi sahabat terpercaya Pak Harto di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat sebagai Wakil Kepala Staf. Setelah Pak Harto dipromosikan, Pak Kemal Idris menggantikan Pak Harto sebagai Pangkostrad.

Kualitas Pak Kemal Idris yang saya ingat dan kagumi adalah sikap terbuka, ramah, dan humoris. Beliau selalu jujur dan berpihak pada rakyat kecil. Namun, Pak Kemal Idris juga memiliki kekurangan. Beliau adalah orang yang emosional dan sering membuat keputusan serta kesimpulan yang terburu-buru sebelum benar-benar memahami situasi. Terkadang, sifat ini membuatnya masuk ke dalam masalah yang sebenarnya bisa dihindari. Selama hidupnya, beliau sering memberi saya nasihat. Setiap kali saya bertemu dengannya, beliau selalu berbagi pengalaman dan kebijaksanaan. Saya belajar banyak tentang kepemimpinan darinya.

Beberapa jam sebelum meninggal, ADC-nya memberi tahu saya bahwa beliau sangat sakit, dan saya mengunjunginya di RS Abdi Waluyo di Menteng, Jakarta. Di atas ranjang sakitnya, beliau berbisik kepada saya, ‘Prabowo, teruslah berjuang.’ Kata-kata terakhirnya kepada saya, ‘Jaga Republik ini, terima kasih.’ Saya memberi hormat kepadanya, dan dalam sekejap, air mata mulai mengalir di wajah saya. Itu momen yang sangat membingungkan. Pada saat itu, saya sudah diberhentikan dari jabatan Pangkostrad. Saya bisa merasakan getaran jiwa beliau ketika beliau merasakan saat-saat terakhir hidupnya.

Jenderal TNI (Purn.) Hartono Rekso Dharsono

Selama Orde Baru, Pak Ton adalah salah satu sahabat paling berpengaruh bagi Pak Harto. Beliau berani menegur Pak Harto, mengkritik, dan mendorongnya untuk mendemokratisasi Indonesia. Beliau menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para senior dan rekannya. Beliau sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Beliau sering mengenakan beret Kujang. Beliau muncul sebagai sosok pahlawan idol yang diperjaya. Dia diidolakan oleh kaum muda Jawa Barat dan gerakan massa pemuda ibu kota Jakarta.

Jenderal TNI (Purn.) Hartono Rekso Dharsono, yang akrab dipanggil Pak Ton, adalah sahabat dekat dari keluarga saya, terutama orangtua saya. Pak Ton juga merupakan teman dari paman saya, Pak Subianto, dan ayah saya, Pak Soemitro. Beliau pernah menjabat sebagai Atase Pertahanan di London. Ia juga memiliki karier cemerlang di TNI. Beliau merupakan sosok yang menonjol di Kodam Siliwangi, yang saat itu dikenal sebagai Divisi Siliwangi. Dalam operasi untuk menekan pemberontakan PRRI/Permesta dan DI/TII, Hartono Dharsono menonjol sebagai komandan batalyon. Saat pemberontakan G30S/PKI terjadi, beliau menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Siliwangi. Akhirnya, beliau menggantikan Mayor Jenderal Ibrahim Adjie, kemudian menjadi Panglima Kodam Siliwangi dari tahun 1966 hingga 1969. Pada saat itu, beliau berhasil memperkuat persatuan antara TNI dan rakyat. Beliau sangat populer di kalangan rakyat, mahasiswa, dan tentara. Beliau sering mengenakan beret Kujang. Beliau diidolakan sebagai sosok pahlawan, terutama oleh pemuda Jawa Barat dan gerakan massa pemuda ibu kota Jakarta.

Selama era Orde Baru, beliau adalah salah satu pendukung terkuat Pak Harto. Beliau berani menegur Pak Harto, mengkritik Pak Harto, dan mendorong Pak Harto untuk memperjuangkan Indonesia yang lebih demokratis. Beliau menentang rezim otoriter dan berani mengkritik para senior dan rekan-rekannya. Akibatnya, beliau dituduh mendukung tindakan teror dan sempat dipenjarakan sebentar. Pada saat itu, saya masih seorang perwira muda. Saya khawatir karena saya tahu beliau difitnah dan disudutkan mungkin oleh kelompok di TNI yang tidak menyukainya. Ketika beliau dipenjara, saya masih menjadi Letnan Dua. Ketika saya masuk ke kursus dasar spesifik cabang di Bandung, saya mengunjunginya dan bertemu keluarganya. Kemudian ketika saya menjadi Kapten, saya menjadi Wakil Komandan Detasemen 81. Pada saat itu, saya bertanggung jawab untuk membangun markas Detasemen 81 di Jakarta dan memilih kontraktor dan subkontraktor. Saya mengetahui bahwa beberapa individu muda dari Bandung mendirikan perusahaan mebel dan mendaftar sebagai subkontraktor interior untuk markas tersebut. Saya tidak ragu untuk menunjuk perusahaan tersebut. Kemudian saya diomeli oleh salah satu atasan saya, yang mengatakan, ‘Di antara mahasiswa ITB yang mendirikan perusahaan…’

Source link