Indonesia Didorong AS ke Transisi Energi Baru Terbarukan
Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia dan negara berkembang lainnya terus didorong oleh sejumlah negara maju, salah satunya Amerika Serikat (AS), untuk terus menggencarkan transisi energi, meninggalkan sumber energi fosil, seperti batu bara dan beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
Padahal, program transisi energi itu sendiri membutuhkan pendanaan yang besar, bahkan hingga tahun 2030 saja Indonesia memperhitungkan negara membutuhkan dana hingga US$ 97 miliar atau setara Rp 1.518 triliun (asumsi kurs Rp 15.653 per US$) untuk melakukan transisi energi.
Ditambah lagi, Indonesia memiliki target Net Zero Emission (NZE) hingga tahun 2060 atau lebih cepat. Artinya, Indonesia akan membutuhkan pendanaan yang lebih besar dari yang sudah diperhitungkan hingga tahun 2030 itu.
Lantas, dari mana duit untuk menggencarkan transisi energi di Tanah Air?
Direktur Panas Bumi Direktorat Jeneral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya mengatakan, perihal pendanaan untuk program transisi energi dalam negeri sangatlah penting.
Menurutnya, jika program transisi energi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, tidak didukung oleh pendanaan yang mumpuni, maka rencana transisi energi di negara berkembang akan terus berjalan di tempat.
“Bahkan, emisi yang kita targetkan untuk turun 43% tadi bisa jadi naik,” tambahnya.
Walaupun memang, di lain sisi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia tercatat telah memiliki Energy Transition Mechanism (ETM), yaitu sebuah mekanisme pembiayaan campuran yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh pihak global dalam menyelesaikan krisis iklim.
“Kami membutuhkan langkah konkret melalui Green Low-Cost Financing. Kami memberikan landasan yang kuat bagi platform negara pembiayaan ramah lingkungan melalui ETM dan JETP yang telah kami tuangkan dalam Comprehensive Investment & Policy Plan (CIPP),” kata Sri Mulyani.
Adapun, program JETP (Just Energy Transition Partnership) merupakan inisiatif negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia. Inisiatif pendanaan senilai US$ 20 miliar ini diumumkan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022 lalu.
Namun lagi-lagi, dana yang dijanjikan dalam JETP sekitar US$ 20 miliar atau setara Rp 300 triliun itu terhitung masih jauh dari kebutuhan Indonesia untuk transisi energi yang sampai tahun 2030 saja membutuhkan dana sekitar Rp 1.500 triliun.
Dengan begitu, Indonesia atau bahkan negara-negara berkembang lainnya perlu memutar otak lebih jauh untuk merealisasikan program transisi energi dan menghindari krisis iklim.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya Bakar juga sempat menuturkan pentingnya bantuan pendanaan dari dunia internasional untuk transisi energi di Tanah Air, khususnya dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
“Mobilisasi keuangan kini sedang berlangsung selama tiga sampai lima tahun dengan memperkenalkan Indonesia Country Platform sebagai mekanisme keuangan untuk pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara atau PLTU dan untuk investasi baru pada energi terbarukan,” ujar Siti Nurbaya saat menghadiri gelaran COP28 di Dubai beberapa waktu lalu.
“Pembahasan mengenai energi akan menjadi penting dan menarik setelahnya, begitu juga dengan sampah dan ekonomi sirkular, yang semuanya melibatkan partisipasi masyarakat, swasta, CSO dan akar rumput,” tandasnya.
(wia)