Tsunami Terlambat: Bos BMKG Berbagi Pengalaman tentang Peringatan Dini

by -131 Views
Tsunami Terlambat: Bos BMKG Berbagi Pengalaman tentang Peringatan Dini

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, berbicara tentang perkembangan sistem peringatan dini bencana di Indonesia. Dia juga menyebutkan tentang keterlambatan sistem peringatan dini pada beberapa tahun yang lalu dalam mengabarkan potensi gempa dan tsunami.

Dalam acara World Tsunami Awareness Day, Dwikorita menjelaskan tentang sistem peringatan dini saat terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004. Pada saat itu, sistemnya masih belum memadai dengan hanya terdapat 25-50 sensor seismograf. Pengolahannya juga masih dilakukan secara manual menggunakan alat seperti busur derajat, penggaris, pensil, dan komputer yang tertinggal. Hal ini membuat BMKG kesulitan dalam menentukan posisi gempa bumi dan apakah memiliki potensi tsunami atau tidak.

Oleh karena itu, BMKG kemudian membangun sistem peringatan dini yang lebih berkembang, terutama untuk potensi tsunami yang dipicu oleh gempa Megathrust. Gempa tersebut memiliki kekuatan besar seperti yang terjadi di Aceh 20 tahun yang lalu dengan magnitudo 8,5 SR. Jaringan seismograf diarahkan ke zona Megathrust. Namun, BMKG saat itu belum memikirkan tentang adanya tsunami non-seismik.

Dwikorita menyebutkan bahwa terdapat tsunami non-seismik yang terjadi di Indonesia, namun saat itu sistem peringatan dini tsunami belum siap. Hal ini menjadi pembelajaran baru untuk menyempurnakan sistem agar juga dapat mendeteksi tsunami non-seismik dengan cepat.

Dalam kejadian di Palu, tsunami datang pada menit ke-2, padahal peringatan dini memberikan waktu 5-10 menit. Sehingga penting untuk terus bekerja keras dalam mengejar kemajuan teknologi agar tidak keduluan tsunami. BMKG, BNPB, perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan masyarakat akan bekerja sama dalam membangun kekuatan masyarakat dengan kearifan lokal serta kesiapan masyarakat yang lebih tangguh.

Dwikorita menekankan bahwa tidak cukup hanya mengandalkan teknologi, tetapi peran masyarakat juga sangat penting dalam sistem peringatan dini. Menurutnya, kearifan lokal telah terbukti dapat menyelamatkan masyarakat. Pada tahun 2027, diharapkan 100% masyarakat di daerah rawan selalu siap dalam menyelamatkan diri saat tsunami untuk mewujudkan Safe Ocean.

Dalam kesimpulan, Dwikorita berpesan agar tidak terlalu puas dengan teknologi yang ada karena masih terdapat kekurangan. Pusat perhatian tetaplah pada masyarakat dan kearifan lokal sebagai faktor penting dalam menyelamatkan diri dari bencana.