Hizbullah Berusaha Memantau Israel, AS Mulai Melakukan Diplomasi

by -158 Views
Hizbullah Berusaha Memantau Israel, AS Mulai Melakukan Diplomasi

Perang Israel dan Hamas telah berlangsung lebih dari tiga bulan dan semakin meluas. Pada Sabtu, 6 Januari 2024, puluhan tembakan besar dari Lebanon menghantam Israel utara. Hizbullah, kelompok bersenjata Lebanon, menyatakan telah menyerang pos pengamatan Israel dengan 62 roket sebagai tanggapan awal terhadap pembunuhan wakil ketua Hamas. Tensi meningkat sejak pembunuhan Saleh al-Arouri di pinggiran selatan Beirut, kubu sekutu Hamas di Lebanon yang didukung Iran.

Sementara itu, Amerika Serikat dan Uni Eropa sedang melakukan dorongan diplomatik baru untuk menghentikan dampak perang Gaza agar tidak meluas ke wilayah Lebanon, Tepi Barat, dan Laut Merah. Dampak dari perang Gaza telah menewaskan 22.600 orang dan menghancurkan daerah kantong padat penduduk yang berpenduduk 2,3 juta orang.

Di tengah perang, keadaan di Gaza semakin memprihatinkan. Kelaparan di Gaza sudah terjadi dan masyarakat Gaza menghadapi tingkat kerawanan pangan tertinggi yang pernah tercatat. Bencana kesehatan masyarakat terjadi, dengan penyakit menular menyebar di tempat penampungan yang penuh sesak. Puluhan ribu orang telah meninggal akibat serangan Israel dan sekitar 58.000 orang terluka.

Di tengah kondisi kritis ini, Amerika Serikat sedang melakukan diplomatik baru untuk meredakan ketegangan. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bertemu dengan para pemimpin Turki dan Yunani untuk membahas perang dan krisis kemanusiaan di Gaza. Palestina juga menuntut hak untuk menentukan nasibnya sendiri.

Situasi di Gaza semakin memburuk dengan rumah sakit terbesar di Gaza yang hampir tidak berfungsi karena dikepung oleh pasukan Israel. Badan anak-anak PBB memperingatkan bahwa Gaza telah menjadi “tidak dapat dihuni” dan mengancam lebih dari 1,1 juta anak di Gaza. Mereka juga menyerukan lembaga internasional untuk melakukan intervensi segera untuk membantu Gaza.

Menteri Pertahanan Israel telah menguraikan rencana mengenai apa yang mungkin terjadi setelah perang dalam sebuah dokumen berjudul “Day After.” Namun, rencana ini memicu diskusi panas di dalam kabinet Israel dan menuai kecaman dari Amerika Serikat, PBB, dan beberapa negara Arab.