Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di 104 daerah menjadi perhatian anggota Komisi II DPR. Mereka melihat bahwa kebijakan ini berasal dari keputusan pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) serta Peraturan Pemerintah Nomor 120 Tahun 2018. Anggota Komisi II, Muhammad Khozin, menyoroti implementasi kebijakan pajak yang dilakukan berdasarkan rekomendasi pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, terutama terkait penggunaan single tariff atau multi tariff dalam tarif PBB.
Dalam rapat kerja dengan Kemendagri, Khozin menyampaikan keprihatinannya terkait kenaikan tarif PBB yang signifikan, bahkan mencapai 400% atau 300% di beberapa daerah. Dia juga mengungkapkan bahwa banyak kepala daerah merasa terancam ketika hendak mengusulkan skema multitarif karena takut akan dampak negatif terhadap dana perimbangan keuangan daerah. Sayangnya, respon negatif dari masyarakat terhadap kenaikan tarif PBB tidak diantisipasi dengan baik oleh Kemendagri, malah sebaliknya, pejabat daerah yang dinilai bersalah.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menekankan bahwa kenaikan PBB-P2 seharusnya sudah menjadi alarm bagi Kemendagri untuk mendorong inovasi pengelolaan keuangan daerah. Dia menyoroti bahwa kebijakan kenaikan PBB seringkali menimbulkan resistensi sosial. Menanggapi hal ini, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Aria, menegaskan bahwa Kemendagri lebih berperan sebagai pengawas dan merekomendasikan kepada pemerintah daerah terkait potensi pajak di daerah masing-masing. Kemendagri juga mendorong sosialisasi yang maksimal terkait penerapan pajak demi mendapatkan dukungan masyarakat yang lebih baik.