Pada masa kepresidenan Jimmy Carter, terjadi momen historis antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 15 Desember 1978. Melalui negosiasi rahasia, kedua negara akhirnya membuat perjanjian untuk saling mengakui dan menjalin hubungan diplomatik resmi pada akhir 1978. Normalisasi hubungan ini dipimpin era Wakil Perdana Menteri China, Deng Xiaoping, yang saat itu meminta investasi dari AS. AS pun bersedia dengan syarat bahwa China kembali menginvestasikan likuiditas yang didapatnya dari AS ke surat utang AS.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, menjelaskan bahwa pola investasi ini telah berlangsung sejak tahun 1979 dan memberikan keuntungan besar bagi China. Dengan hubungan yang semakin baik, Tiongkok dapat mengakses teknologi lebih maju setelah terisolasi selama beberapa dekade. Hal ini memungkinkan China untuk tumbuh sebagai anggota World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001 dan mulai menjadi eksportir global yang kuat.
Selama periode 2001-2008, China fokus membangun industri low-tech padat karya sambil defisit neraca perdagangan AS menjadi perhatian. Hingga pada 2020, China telah maju dalam industri high technology, mengungguli AS baik secara teknologi maupun ekonomi. Presiden Donald Trump kemudian mencoba mengembalikan kejayaan AS dengan kebijakan tarif bea masuk yang ekstrim untuk mengurangi ketergantungan AS pada China.
Trump bahkan mengancam China dengan tarif masuk hingga 145% selama masa jabatannya. Kendati demikian, kedua negara kemudian bersikap dewasa dengan memulai perundingan dagang. Beijing setuju untuk mengakhiri larangan ekspor logam dan magnet ke AS, sementara AS mulai kembali ekspor berbagai barang ke Tiongkok. Perundingan selanjutnya berfokus pada ekonomi Tiongkok yang dianggap AS terlalu didukung dan disubsidi oleh negara, serta masalah lainnya untuk mengurangi ketergantungan Tiongkok pada sektor manufaktur dan ekspor.