Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Harmoni Doa, Alam, dan Leluhur

by -287 Views
Ngertakeun Bumi Lamba 2025 di Gunung Tangkuban Parahu: Harmoni Doa, Alam, dan Leluhur

Ketika Gunung Menjadi Saksi Doa

Pagi itu, Sabtu, 22 Juni 2025, kabut masih bergelayut di lereng Gunung Tangkuban Parahu. Dari segala penjuru Nusantara, manusia datang dengan langkah pelan, membawa doa dan harapan. Mereka mengenakan kain adat Sunda, Bali, Dayak, Minahasa — warna-warni yang melebur jadi satu, menjadi simbol keberagaman yang menyatu dalam satu panggilan: merawat bumi.

Ritual tahunan ini bernama Ngertakeun Bumi Lamba, sebuah tradisi yang sudah berusia puluhan tahun, namun selalu terasa baru setiap kali digelar. Tradisi ini bukan hanya seremoni, melainkan janji yang terus diperbarui: untuk menjaga bumi, untuk menghormati leluhur, untuk hidup seirama dengan alam.

Makna Tersembunyi dalam Lantunan Doa

Dalam bahasa Sunda, ngertakeun berarti merawat, memuliakan. Sedangkan bumi lamba berarti tanah luas, simbol semesta. Tradisi ini berakar dari masa kerajaan Sunda kuno, dan pada 1964 dihidupkan kembali oleh R.M.H. Eyang Kanduruan Kartawinata, seorang tokoh yang melihat bahwa manusia kian jauh dari akarnya.

Begitu semua peserta menjejakkan kaki di bumi gunung, bunyi karinding bergetar pelan, nyaris tak terdengar namun terasa di dada. Angin membawa bisikannya ke daun-daun. Dentum lembut angklung dan tetabuhan Minahasa bergema, berpadu dengan genta Bali — mencipta sebuah simfoni yang tak perlu kata-kata. Semua yang hadir diam, membiarkan diri hanyut dalam sunyi yang penuh makna.

Pesan dari Mereka yang Menjaga

Di antara barisan, hadir para tokoh yang membawa pesan masing-masing.
Bapak Wiratno berkata, “Budaya sejati adalah saat kita bisa menyerahkan bumi yang indah kepada mereka yang bahkan belum lahir.”
Andy Utama mengingatkan:

“Jangan pernah berhitung dengan semesta. Sebab jika semesta yang mulai berhitung dengan kita, kita yang rugi.”

Mayjen Rido menyebut upacara ini sebagai pengadilan batin bagi diri sendiri.
Panglima Dayak berdiri tegas dan menyuarakan:

“Alam tidak membutuhkan manusia. Manusialah yang bergantung padanya.”

Lalu dari ujung barisan, pekikan Panglima Minahasa pecah:

“Gunung adalah penjaga masa depan. Di sinilah Bhineka Tunggal Ika mewujud. Di sinilah Pancasila hadir. Merdeka!”

Dari Doa Menjadi Aksi Nyata

Nilai Ngertakeun Bumi Lamba bukan hanya diucapkan, tetapi ditanam. Komunitas Arista Montana bersama Yayasan Paseban di Megamendung telah menanam lebih dari 15.000 pohon puspa, damar, bambu, dan berbagai pohon lainnya. Mereka tidak hanya tinggal di gunung, tetapi hidup bersama gunung.

Baca juga:
Andy Utama dan Cinta Bumi dalam Aksi Nyata

Sebuah Janji di Bawah Langit

Menjelang akhir, pekikan lantang “Taariu! Taariu! Taariu!” menggema dari Panglima Dayak, memecah hening. Pekikan itu bukan sekadar seruan, melainkan ikrar yang datang dari hati: bumi akan dijaga, leluhur akan dihormati, manusia tidak akan lupa menjadi manusia.

Ketika semua orang mulai meninggalkan lokasi, langkah mereka terasa berbeda. Tidak lagi hanya menuju rumah, tetapi membawa pulang amanah yang harus dijaga: untuk terus merawat bumi, untuk terus merawat diri, untuk terus merawat satu sama lain.

Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam