Pada tanggal 17 Februari 1674, seorang tentara VOC bernama George Berhard Rumphius menjadi saksi tragedi alam di Indonesia. Pengamatan dan pengalaman Rumphius tertuang dalam buku berjudul Herbarium Amboinense, yang merupakan jurnal tentang alam di Ambon. Namun, di dalam buku tersebut juga terdapat kisah dramatis tentang bagaimana Rumphius dan sedikit orang lain selamat dari gempa bumi dan tsunami yang menghantam kawasan tersebut.
Pada hari kejadian, kejadian tersebut terjadi secara tak terduga tanpa tanda-tanda awal. Rumphius dan orang-orang sekitarnya terkejut saat tanah tiba-tiba bergerak seperti ombak di laut. Saat gempa bumi mulai terjadi, seluruh garnisun termasuk Rumphius sendiri bergerak ke lapangan di bawah benteng dalam upaya menyelamatkan diri.
Namun, upaya mereka sia-sia ketika air laut naik tiba-tiba dan membanjiri daerah tersebut. Ratusan orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, menjadi korban dalam bencana tersebut. Dari kesaksiannya, diperlihatkan bahwa gempa dan tsunami Ambon 1674 merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Nusantara.
Selama ratusan tahun setelah tragedi itu, cerita Rumphius tetap menjadi bukti sejarah akan bencana alam di Indonesia. Pihak BMKG menyebutkan bahwa tsunami Ambon 1674 menjadi peristiwa tertua dan terkuat dalam catatan sejarah tsunami di Indonesia. Tsunami tersebut diyakini memiliki ketinggian hingga 100 meter yang sangat merusak.
Gempa tersebut juga menyebabkan fenomena likuifaksi di Ambon, di mana tanah kehilangan kekuatannya akibat getaran gempa bumi. Selain itu, faktor longsor pantai juga berkontribusi dalam menciptakan tsunami yang dahsyat di Ambon. Kesaksian Rumphius memperlihatkan betapa longsor pantai dapat menjadi sumber bahaya tsunami yang signifikan di Indonesia.
Dengan begitu, Tsunami Ambon 1674 menjadi bukti bahwa longsor pantai merupakan faktor penting dalam menciptakan bencana tsunami di Indonesia. Artinya, peristiwa tersebut tetap menjadi peristiwa paling mengerikan dalam sejarah Nusantara yang menghasilkan gelombang setinggi 100 meter.