Leadership Qualities Demonstrated by My Senior Colleagues (Part 2)

by -42 Views
Leadership Qualities Demonstrated by My Senior Colleagues (Part 2)

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Himawan Soetanto adalah salah satu pemimpin yang patut diteladani. Salah satu pelajaran berharga yang saya dapat dari beliau adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Seorang komandan harus berada di tengah-tengah anak buahnya saat mereka bangun pagi hingga tidur malam. Seorang komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi hingga kualitas celana dalam mereka. Berkat Pak Himawan Soetanto, saya telah mengembangkan kebiasaan memeriksa detail dapur dan perlengkapan anak buah saya. Suatu kali, saya menemukan bahwa celana dalam putih para prajurit telah berubah menjadi cokelat. Saya juga menemukan bahwa dapur menjadi sumber praktik korupsi yang paling banyak. Bayangkan, satu kilogram daging hanya diberikan untuk 16 orang. Ini dikenal di TNI sebagai ‘daging pengiris‘ karena dagingnya tipis seperti pisau cukur. Sungguh tragis. Itulah beberapa hal yang saya pelajari dari kepemimpinan praktis Pak Himawan Soetanto.

Pertama kali saya mengenal Pak Himawan Soetanto adalah saat saya bergabung dengan AKABRI pada tahun 1970. Saat itu, beliau menjabat sebagai Wakil Gubernur AKABRI yang bertanggung jawab atas pendidikan dan latihan. Beliau sangat terpelajar. Beliau bisa berbicara bahasa Inggris dan Belanda dengan lancar. Beliau bahkan bisa sedikit berbicara bahasa Jepang, yang telah dipelajarinya selama pendudukan Jepang di Indonesia. Beliau juga gemar membaca buku sejarah. Sekali lagi, tokoh-tokoh besar yang saya kenal adalah pembaca yang tekun. ‘Pemimpin yang baik harus rajin membaca,’ begitulah pepatah terkenal. Rumahnya dipenuhi oleh banyak buku. Setiap kali bertemu dengan beliau, selalu membicarakan buku-buku dengan saya. Beliau kadang bertanya apakah saya telah membaca buku-buku karya B. H. Liddell Hart, seorang sejarawan strategi militer asal Inggris, atau Sun Tzu, seorang ahli strategi militer Tiongkok, dan buku-buku lainnya. Hal lain yang membuat saya terkesan adalah penampilan rapi beliau. Wajahnya selalu penuh senyum. Beliau selalu humoris, tenang namun percaya diri, dan dekat dengan anak buahnya. Beliau memiliki pengalaman tempur yang panjang, dan hal tersebut terlihat dari sikapnya. Ini berbeda dengan beberapa orang yang tidak memiliki banyak pengalaman tempur. Mereka cenderung dingin dan menjaga jarak dengan anak buahnya. Mereka selalu ingin taat pada peraturan. Istilah kami di TNI untuk tipe sosok seperti ini adalah berpikir tentang pencapaian yang sering disebut sebagai PUD atau perwira PUD.

Pemimpin TNI yang terbiasa hadir di tengah-tengah anak buahnya dalam suasana lapangan biasanya lebih santai dan fleksibel. PUD diadaptasi dengan kondisi di lapangan. Selain itu, saya ingat sebuah artikel dalam PUD yang menyatakan bahwa komandan unit dapat menyesuaikan PUD dengan kondisi masing-masing unit. Itu artinya seorang komandan memiliki wewenang besar untuk menyesuaikan regulasi berdasarkan kebutuhan dan situasi. Oleh karena itu, salah satu nilai yang saya dapat dari Pak Himawan Soetanto adalah bahwa seorang komandan harus dekat dengan anak buahnya. Komandan harus bersama mereka dari fajar hingga senja. Komandan harus memeriksa kondisi anak buahnya, mulai dari dapur, kamar mandi, hingga celana dalam mereka. Belajar dari Pak Himawan Soetanto, saya memiliki kebiasaan memeriksa detail dapur dan peralatan. Suatu saat, saya pernah menemukan bahwa celana dalam para prajurit saya berwarna cokelat, sudah tidak putih lagi. Saya juga mengetahui bahwa dapur telah menjadi sumber banyak praktik korupsi. Satu kilogram daging akan dibagi antara 16 orang! Hal ini terkenal di TNI sebagai ‘daging pengiris’, daging sehalus pisau cukur. Tragis. Itulah beberapa hal kepemimpinan praktis yang saya pelajari dari Pak Himawan Soetanto.

Letnan Jenderal Himawan Soetanto memiliki karier gemilang. Beliau menjadi inspirasi bagi banyak orang di militer. Saya sangat dekat dengannya. Saya tetap dekat dengannya bahkan setelah pensiunnya. Beliau adalah salah satu mentorku. Beberapa hari sebelum wafat, saya mengunjunginya di rumah sakit. Putranya memberi tahu saya bahwa, selain anggota keluarga dekat, beliau juga ingin bertemu dengan saya. ‘Dimana sang jenderal tempur?’ Anak-anaknya bingung siapa yang dimaksud dengan “jenderal tempur”. Beberapa dari mereka mencoba klarifikasi apakah beliau merujuk pada Prabowo. Beliau mengangguk. Saya terharu mendengar ceritanya. Oleh karena itu, saat saya datang mengunjunginya, saya berdiri tegak dan memberi salam padanya. Pada saat itu, saya sudah pensiun, dan saya datang mengenakan pakaian sipil. Karena kami sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris, saya katakan padanya dalam bahasa Inggris, ‘Anda adalah jenderal yang sesungguhnya, Tuan!’ Beliau menangis. Pada saat itu, beliau tidak bisa berbicara lagi. Itulah kenangan saya tentang Pak Himawan Soetanto. Sungguh suatu kehormatan bahwa seorang jenderal yang saya kagumi masih berharap untuk bertemu dengan saya di saat-saat terakhirnya.

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang pemimpin yang fenomenal. Beliau karismatik. Beliau tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau dikenal sebagai sosok yang memimpin dari depan. Bahkan saat menjabat sebagai komandan Pasukan Khusus (RPKAD), beliau turut terlibat di lapangan. Beliau adalah idola para siswa, pemuda, dan idola kita, para perwira muda dan kadet. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering membagikan pengalamannya. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat untuk tidak pantang menyerah, semangat patriotisme. Beliau juga sempat menulis buku berjudul Hidupku untuk Negara dan Bangsa. Nilai itu ditanamkan dalam diri kami sebagai kadet AKABRI. Patriotisme melalui cinta terhadap tanah air dan kebanggaan terhadap warisan nenek moyang kita. Itulah apa yang disampaikan oleh Pak Sarwo kepada kami.

Pertama kali saya bertemu dengan Jenderal Sarwo Edhie adalah saat saya masih seorang kadet. Beliau belum menjabat sebagai Gubernur AKABRI (sekarang AKMIL), tetapi beliau sangat terkenal. Pak Sarwo Edhie juga adalah teman dekat orang tua saya. Sebelum saya resmi menjadi kadetnya, saya sudah mendengar banyak cerita tentang Pak Sarwo dari orang tua saya, bagaimana Pak Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang KOPASSUS) pada saat-saat krusial pada Oktober 1965 selama peristiwa G30S/PKI. Beliau adalah sosok yang karismatik. Tampan, selalu rapi berpakaian. Beliau juga dikenal sebagai komandan yang memimpin operasi dari garis depan. Sebagai komandan RPKAD, beliau tetap terlibat di lapangan, sehingga beliau juga adalah idola para kadet muda. Sebagai mentorku di AKABRI, beliau sering menceritakan pengalamannya. Pada saat itu, beliau menanamkan dalam kami semangat ketekunan dan patriotisme. Beliau juga menulis buku berjudul ‘Hidupku untuk Negeri dan Bangsa’. Nilai itu kami tanamkan sebagai kadet AKABRI. Semangat patriotisme melalui cinta terhadap tanah air dan kebanggaan terhadap warisan nenek moyang kami, itulah semangat yang disampaikan oleh Pak Sarwo Edhie kepada kami. Setelah beliau pensiun dari dinas aktif, beliau sempat menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Untuk periode singkat, beliau juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pelaksana Internalisasi dan Implementasi Nilai-Nilai Pancasila (BP7). Saya ingat betul bagaimana beliau tetap mempertahankan sikap sebagai seorang prajurit. Sebagai seorang prajurit yang terkenal dengan kejujuran dan integritasnya, beliau tidak meninggalkan banyak kekayaan saat wafat. Kejadiannya, dalam hidupnya, beliau menikahkan ketiga putrinya dengan lulusan AKMIL. Yang tertua dengan Kolonel Infanteri Hadi Utomo, angkatan 1970; yang kedua dengan Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, angkatan 1973, yang kemudian menjadi Presiden ke-enam Republik Indonesia; dan yang termuda dengan Letnan Jenderal TNI Erwin Sudjono, yang kemudian menjadi Panglima KOSTRAD. Saya juga sangat mengenal ketiga perwira ini.

Jenderal Besar TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution adalah salah satu tokoh kunci dari generasi ’45 yang telah berjuang keras untuk kemerdekaan kita. Saya merasa beruntung bisa berdialog langsung dengan beliau, sesuatu yang tidak banyak orang bisa alami di negara ini. Saya merasa seperti menjadi mahasiswa dari seorang aktor sejarah. Beliau sering membagikan pengalamannya, pendapat, strategi perang gerilya, pengalaman melawan Belanda, dan banyak hal lain dengan saya. Beliau juga sangat pandai dalam sejarah dan berbagai bahasa, seperti tokoh-tokoh lain dari generasi ’45 itu.

Source link