Characteristics of Genuine Military Leaders

by -66 Views
Characteristics of Genuine Military Leaders

Para mentor saya dari generasi ‘45 adalah pemimpin lapangan, komandan pasukan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka terhadap tanah air tidak pernah surut meski usia mereka bertambah; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar domain mereka; Keempat, Sense of Humor yang baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang-orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.”

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan pertempuran. Sebagai seorang perwira muda, saya sangat beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan bimbingan dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Kebangkitan bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai kelompok etnis, ras, suku, agama, dan daerah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Namun banyak yang memilih mengorbankan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar akhirnya kita bisa bebas dari belenggu kolonisasi yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka adalah orang-orang yang dikenal sebagai generasi ‘45. Mereka adalah ‘generasi pejuang’. Mereka bisa dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang kadet muda di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ‘45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya juga bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayai oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda keluar dari Jawa pada tahun 1934. Satu hari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ia memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan sekaligus menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh puncaknya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi menemui beliau dan mengembalikan mandat tersebut. Begitu pula dua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Kadet Sujono Djojohadikusumo juga bagian dari generasi ‘45. Kedua paman saya meninggal dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para kadet Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot mencoba merebut senjata dari markas Jepang. Namun, hampir semua kadet tewas dalam pertempuran tersebut, termasuk komandan mereka dan kedua paman saya. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah pulang dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama dengan gelar Doktor Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, segera bergabung dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk membiayai penyelundupan senjata ke negara tersebut guna mendukung pasukan Indonesia. Ia juga berperan dalam pencetakan uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, ia menjadi asisten pribadi dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), tempat kedua paman saya dimakamkan dan mengunjungi rumah kakek saya setiap hari Minggu. Kakek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah sesuatu yang selalu menyambut kedatangan saya. Kakek saya juga menunjukkan kepada saya dua tempat tidur paman saya, ransel, dan helm yang ia simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka diletakkan di ujung tempat tidur mereka yang lain selalu berkilau. Secara halus, kakek nenek saya menunjukkan betapa mereka menghargai dan menghormati pengorbanan terbesar yang dilakukan oleh anak-anak mereka yang gugur demi kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncullah apa yang disebut sebagai semangat ’45. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk mengangkat Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, terhormat, dan adil, dengan warga yang sejahtera, bahagia, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Atmosfer ini, secara tidak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk ke saya. Keluarga saya adalah keluarga dari generasi ’45. Saya tumbuh dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ’republiken’, menggunakan terminologi pada saat itu. Generasi ’45 naik daun karena mereka tidak ingin diperlakukan lebih rendah dari anjing oleh para penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar frasa verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, saat saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan frasa ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Frasa itu terpahat di dinding marmer di samping kolam renang. Namun pada saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa penasaran saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut itu. Dan, bukan tanpa kejutan, jelas terbaca, terpahat dengan jelas: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Yang lebih menyakitkan, kami, para pribumi, dianggap lebih rendah dari anjing. Pada saat itu, Belanda menganggap anjing lebih terhormat daripada kita, orang asli dari tanah ini. Selain tumbuh dalam keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung bisa berinteraksi langsung dengan tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dahulu pernah menjadi sekre
Keyword to optimize: generasi ’45

Source link