Georges Frederic Doriot (1899-1987) adalah pendiri modal ventura pertama di dunia pada tahun 1946. Modal ventura yang didirikannya menghasilkan pengembalian investasi (capital gain) yang menjanjikan dengan pertumbuhan hingga 500 kali lipat, dimulai dari investasi awal pada tahun 1957, mencapai nilai lebih dari $38 juta 11 tahun kemudian. Usaha tersebut mengalami pertumbuhan laba dengan pengembalian tahunan mencapai 101%.
Filosofi Perusahaan Modal Ventura (PMV) berbisnis untuk mengambil peluang jangka panjang pada usaha kecil yang memiliki potensi besar, serta menghasilkan keuntungan dari deviden dan capital gain terhadap valuasi nilai di masa depan. PMV berperan dalam mengelola, mengelaborasi, dan mensinergikan portofolio bisnisnya untuk mencetak laba dan meminimalkan risiko operasional yang muncul.
Di Indonesia, PMV mengalami perubahan paradigma mendasar dalam operasinya. PMV didefinisikan sebagai badan usaha yang melakukan pembiayaan atau penyertaan modal ke dalam perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, pembelian obligasi konversi, atau pembiayaan berdasarkan pembagian hasil usaha. Inilah awal mula Ambiguous genitalia pada PMV di Indonesia.
Dengan definisi yang hybrid ini, ketajaman PMV dalam melihat potensi startup menjadi terhambat. Fokus meningkatkan valuasi UMKM/Startup tergantikan oleh penilaian agunan pinjaman. Keterampilan menilai tim dalam pengelolaan UMKM/startup terhenti oleh penilaian karakter calon debitur pada biro kredit. Jika kondisi ini terus berlanjut, ruang bisnis anak muda akan terancam. Perusahaan startup lokal inovatif dan berbasis teknologi akan semakin sedikit, dan pengolah komoditas penopang ketahanan pangan akan terbatas dan akhirnya diakuisisi oleh investor asing.
Kinerja PMV di Indonesia
Akibat penerapan mazhab hybrid ini, PMV mengalokasikan 59% dananya ke portfolio pembiayaan (kredit) dengan realisasi hingga Agustus 2023 mencapai Rp.10,4 triliun (BI, 2023). Hal ini setara dengan 1/18 dari volume usaha Koperasi Indonesia sebesar Rp.182 triliun (Kemenkop UKM, 2023).
PMV yang diharapkan bersahabat dengan Perusahaan rintisan (startup) justru tidak berinvestasi sama sekali pada Perusahaan rintisan (startup). Pendanaan yang paling dibutuhkan oleh UMKM/Startup dalam bentuk saham stagnan sebesar Rp.6 Triliun dalam 2 tahun terakhir, menyumbang 35% dari total pembiayaan PMV. Sebanyak 55 PMV meraih laba bersih pada tahun 2022 sebesar Rp.971 Miliar, hanya setara dengan 1/7 dari total Surplus Hasil Usaha (SHU) Koperasi di Indonesia sebesar Rp.7,1 Triliun.
Inisiasi BLU Venture
Penyertaan modal yang dilakukan oleh PMV saat ini masih fokus pada pendanaan early stage hingga ke growth stage. PMV enggan mendanai usaha potensial kategori UMKM/Startup pada level pre-seed. Ada kesenjangan yang menghambat UMKM/Startup untuk naik ke level early stage karena sulitnya akses pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional dan investor yang enggan mengambil risiko investasi. Situasi ini mengakibatkan UMKM/Startup terjebak pada level yang sama dari tahun ke tahun.
Diperlukan peran Badan Layanan Umum Ventura (BLU Venture) untuk mengisi celah penyertaan modal (equity) yang minim melalui skema kolaborasi (trust fund). BLU Venture akan mengelola dana dari berbagai sumber untuk investasi pada UMKM/Startup yang memiliki potensi. Konsep ini telah terbukti sukses di Belanda (VLAIO) yang telah memberikan layanan fasilitas inkubasi, akselerasi, investasi, serta menggelontorkan jutaan dollar investasi ke wirausaha.
BLU Venture akan fokus pada usaha UMKM/Startup dalam skala mikro, kecil, atau menengah, dengan peran sebagai inkubator, akselerator, dan investor. Portofolio investasi BLU Venture dapat diteruskan ke PMV untuk tahap early stage hingga IPO.
Terdapat 5 komponen utama dalam bisnis BLU Venture. Pertama, fungsi scouting untuk melakukan penilaian terhadap portofolio calon investee yang akan diinvestasikan. Kedua, peran business development untuk pendampingan dan pengelolaan usaha pasca investasi. Ketiga, tata kelola BLU Venture yang menerapkan prinsip tata kelola yang baik, manajemen risiko, dan kepabeanan. Keempat, pembentukan komite investasi untuk independensi penyusunan tools asesmen, penerapan GRC, dan penentuan segmen investasi. Kelima, kolaborasi dengan stakeholder untuk keberlanjutan program akselerasi UMKM.
BLU Venture juga dapat diarahkan untuk mengakselerasi program strategis di sektor pangan. Contohnya, pabrik minyak makan merah yang membutuhkan modal awal operasional. Usaha ini perlu ventura yang bersedia masuk di tahap Valley of Death agar program tersebut dapat berjalan dengan baik.
Seluruh skema pendanaan BLU Venture harus berbasis equity fund dengan model fleksibel. UMKM/Startup dapat mengusulkan kesepakatan waktu buy back terhadap kepemilikan saham, nilai capital gain saat buy back, pembagian nilai deviden dari laba bersih tiap tahunnya, jangka waktu kepemilikan saham, dan fasilitas pendampingan pengelolaan usaha.
Pemerintah sedang berupaya menghapus buku dan tagihan kepada UMKM yang macet dalam sektor pembiayaan. Skema BLU Venture dapat menjadi solusi untuk masalah akses permodalan dengan menghilangkan kewajiban agunan dan ketergantungan pada SLIK. BLU Venture diharapkan dapat membantu individu yang bermasalah dengan SLIK untuk melunasi tunggakannya, sehingga tidak mengganggu sistem perbankan dan investasi.
Dengan implementasi BLU Venture, diharapkan masalah akses permodalan di Indonesia dapat teratasi dan usaha UMKM/Startup dapat berkembang dengan baik.